Membaca sebuah kisah di tabloid
mengenai seorang bayi bernama Aqila yang menderita Atresia Bilier, membuka kembali ingatan tentang anak keduaku. Atresia Bilier adalah penyumbatan
saluran empedu. Lahir melalui proses yang yang menurutku tidak mudah, karena
sesungguhnya aku tidak menyiapkan diri untuk melakukan operasi caesar. Pada
saat kontrol kehamilan dokter mengatakan posisi bayiku normal, sudah berada di
posisi yang semestinya, bahkan tiga hari sebelum hari lahir. Memasuki minggu
ke- 42 belum ada tanda-tanda aku akan segera melahirkan, lewat satu minggu dari
perkiraan dokter. Waktu itu jumat sore aku dan suami kontrol untuk ke sekian
kali, dan dipastikan posisi bayiku kembali bergeser, melintang dengan kaki dan
ari-ari berada di jalan lahir. Satu-satunya jalan adalah dengan melakukan
operasi caesar sesegera mungkin
karena telah lewat waktu perkiraan. Dengan membawa rujukan kepada seorang
dokter senior di rumah sakit daerah (maklum PNS). Mendaftar pada sabtu pagi
(dengan waktu tunggu yang lumayan lama, dan harus mondar-mandir dari satu loket
ke loket lain, tipikal RSD L
hikshiks...), akhirnya aku disiapkan untuk masuk ruang operasi jam 4 sore. Ternyata
tidak memakan waktu lama untuk melakukan sebuah operasi mengeluarkan seorang
bayi kecil dengan berat 2,8 kg dan panjang 52 cm J. Pemulihan dari anestesi
justru yang membutuhkan lebih dari 3 jam, dengan perasaan melayang,
hahahaha....
Pada minggu-minggu pertama, bayi
kecilku tumbuh sehat dengan pertambahan berat badan yang lumayan pesat. Hanya
satu hal yang mengganjal, tubuhnya berwarna kuning, termasuk kornea matanya.
Menurut orang-orang, ini karena kurang asupan ASI dan dijemur. Semua nasehat
kuikuti, tapi keadaan tidak berubah. Hal ini terus berlangsung sampai bayiku
berumur satu bulan lebih. Diluar tubuhnya yang berwarna kuning, semuanya
terlihat normal. BAB nya normal, berwarna kuning, berat badannya naik
proporsional, menyusu dengan teratur. Aniway,
karena kekuatiran kami, akhirnya kami membawanya untuk diperiksa. Dokter waktu
itu belum bisa menentukan diagnosa yang pasti, sambil diberikan obat, kami
diharuskan kontrol kembali sambil melakukan beberapa tes di laboratorium. Bayi
sekecil itu harus ditusuk jarum untuk diambil darah Ltermasuk berpuasa semalaman
karena harus rontgen hati.
(ini daftar tes yang harus dijalani my little baby)
(perjalanan jauh pertama dede)
Meskipun hasil tes laboratorium
telah keluar, tapi dokter belum bisa mengambil kesimpulan. Ada beberapa
kemungkinan, yang terberat adalah penyumbatan saluran empedu dan tindakan yang
harus dilakukan adalah operasi. Astagfirullah haladzim... tidak terkatakan
perasaan ini, ingin menamgis, tapi aku tahu aku harus kuat, demi bayiku, karena
aku ngga mau karena perasaanku yang kacau berpengaruh ke produksi ASI-ku.
Kamipun dirujuk ke Bandung, sebuah rumah sakit swasta internasional, menemui
dokter yang ahli di bidang penyakit ‘hepar’.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, kami memutuskan langsung ke Bandung,
membawa seluruh tabungan kami sebagai bekal. Sebelumnya kami telah melakukan
konfirmasi kepada pihak rumah sakit mengenai apakah dokter yang kami tuju ada. sampai
di rumah sakit, mendaftar (gak pake lama), kami menunggu jam buka praktek.
Tetapi beberapa menit sebelum waktu praktek, perawat memberi tahu bahwa
ternyata dokter berhalangan, karena ada acara mendadak. Kamipun protes, karena
kami sudah membuat perjanjian sebelumnya, mengingat kami dari luar kota.
Perawat jaga berkali-kali minta maaf dan menekankan bahwa itu memang mendadak,
karena sampai waktu terakhir, dokter masih menyatakan akan praktek (fiiuhhhhh,
beda banget sama pelayanan di rumah sakit negeri). Kami sempat linglung,
menentukan langkah apa yang mesti diambil, pulang lagi ke Sukabumi, atau nginep
di Bandung, karena besok dokternya ada jadwal praktek di rumah sakit itu,
meskipun perawat juga tidak bisa memastikan kehadiran dokter. Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya kamipun memutuskan bermalam di Bandung di rumah
salah satu keluarga. Keesokan hari, sampai jam sembilan pagi, kami belum
menerima kabar dari pihak rumah sakit. Akhirnya karena penasaran, aku googling tentang dokter ini. Ternyata Dr
Ina Rosalina, SpA (K) adalah seorang Konsulen Spesialis Anak Sub Spesialis
Gastro di beberapa rumah sakit di Bandung, dokter ahli di bidang saluran
pencernaan anak (gastroenterologi)
terkenal di Indonesia. Wah aku pikir perjuangan mencari dokter ini akan sulit,
meskipun dokter ini praktek di beberapa rumah sakit di Bandung. Akhirnya kabar
dari rumah sakit mengkonfirmasi bahwa dokter Ina tidak akan praktek karena akan
ada seminar di Jakarta. Kamipun kelimpungan. Aku cari dimana lagi dokter Ina
praktek hari sabtu itu, ketemu di satu rumah sakit swasta lagi. Setelah
menunggu beberapa kali menunggu extension,
akhirnya dapat informasi kalau beliau ada praktek. Karena kurang yakin, aku
sampai beberapa kali nanya, “Bener nih mba, dokternya ada?”. “Iya bu, ini juga
lagi ada di ruangan.” Okay kami bergegas berkemas menuju te-ka-pe, suamiku
malah gak pake mandi lagi, maklum Bandung akhir minggu pasti macet. Finnally, menunggu di depan praktek dr.
Ina, lega level pertama.
Melihat hasil tes darah dan rontgen hati dari rumah sakit di
Sukabumi, dr. Ina sebetulnya bisa mengambil kesimpulan, kalau anakku ngga papa,
cuma karena ASI aja katanya, tapi solusinyapun tetep dikasih ASI
sebanyak-banyaknya. Fiiiuuuuhhhhh..... Buat menyakin, harus dilakukan tes darah
sekali lagi L...
Karena hari itu sudah siang, makanya ngga mungkin hasilnya bisa langsung
diperiksa dikter, apalagi beliau mesti ke Jakarta menghadiri seminar. Akhirnya
kami dianjurkan menelpon dokter hari selasa malam, karena dia tau kami dari
luar kota, untuk mengetahui hasil pemeriksaan (she gave us a name card !!!!). Aku sampe melongo, gak papa nih
dokter? Honestly, baru kali ini, gue
ketemu dokter kaya gini, cantik, pinter, terkenal, ramah, baiiiiikkkkk.......
banget, mau dihubungi lewat telpon. Padahal ongkos periksannya aja murah,
hehehe...resep yang dikasih juga cuma vitamin. Lega level kedua.Setelah ambil
darah di lab, kami langsung pulang ke Sukabumi.
Selasa malam, dengan perasaan galau
aku menghubungi dokter. Dokternya santai aja, “Ngga papa kok bu, kasih aja ASI
sebanyak-banyaknya, nanti juga kuningnya ilang, bulan depan cek lagi kesini”.
Ceeesssss....seperti disiram air dingin, kami semua merasa lega dengan
hasilnya. Lega level tiga.
Ternyata memang hari-hari
berikutnya, kuning pada tubuh anakku terlihat berkurang, matanyapun mulai
jernih. Pada saat kami check up lagi,
anakku sudah terlihat seperti bayi sehat lainnya dan dokterpun bilang semuanya
baik-baik saja. Alhamdulillah hirobbil alamiin.... Lega level sepuluh J