Alih-alih menulis
tentang Belanda (dah mepet waktunya....hiaayyyy), gue malah pengen nulis
tentang hal yang baru gue liat waktu dekat ini, di kota yang pernah selama lima
tahun jadi tempat gue belajar dan berkelana...Purwokerto. Kota ini banyak sekali mengalami perubahan sejak terakhir kali
gue singgahi, sekitar tahun 2007. Di sekitar kampus, tak terhitung lagi
banyaknya berbagai toko yang didesain modern, untuk memenuhi kebutuhan
mahasiswa. Hampir tidak ada lagi sawah di sepanjang jalan HR Bunyamin. Warung-warung
makan yang dulu nampak sederhana nyaris tak tampak, berganti rupa menjadi kafe,
entah di daerah kos-kosan, mungkin masih banyak. Namanya juga mahasiswa, kan
nggak mungkin terus-terusan makan di kafe, bisa tekor.
Acara ngumpul
bareng temen-temen naik gunung dulu di Purwokerto, menimbulkan euphoria
tersendiri. Setelah berjam-jam menempuh perjalanan, tanpa sempat istirahat,
langsung mengikuti acara di kampus, wisata kuliner di tempat makan yang sering
kami datangi (maaf yaaa ade-ade, nasi kotak keliatan kurang menarik jika
dibandingkan makanan yang kami buru untuk sekedar napak tilas, kapan lagi
cobaaaa......). Pulang ke hotel, lanjut diskusi ini itu, sampai tengah malem, suasana
yang selalu gue rindukan, mengalahkan rasa lelah. Malam itu karena acara
diskusi telah selesai, beberapa dari kami memutuskan untuk keluar mencari
tempat karaokean yang dekat dengan hotel. Hmmmmmm....meskipun tempatnya ngga
banget, dengan harga yang lumayan mahal, fasilitas yang ditawarkan jauh dari
cukup.
Mungkin hal yang
gue lihat belum seberapa, tapi sungguh, tak pernah terlintas dalam benak gue,
perlakuan seperti yang diterima oleh perempuan itu. Ini agak memalukan
sebenarnya, karena tempat karaokean yang kami datangi bukan family karaoke
seperti yang biasa gue datangi di tempat asal gue. Pertimbangan kami cuma biar
deket dengan tempat kami menginap. Mungkin (ini baru asumsi berdasarkan fakta
yang gue lihat malam itu), ini tempat karaokean dengan arti miring. Jam setengah
empat pagi, serombongan cowok cewek keluar dengan segala ‘perilakunya’ (bukan
bermaksud beralibi, tapi gue dan dua orang temen cewek keluar malem bareng
kakak dan ade yang akan selalu menjaga dan melindungi kami). Seorang perempuan,
harus menghadapi dua orang laki-laki, yang mungkin setengah mabuk. Bukan hanya
kata-kata kasar yang keluar, tapi juga perlakuan fisik yang sudah pasti
menimbulkan luka. Dan sedihnya, gue, kami tak bisa berbuat apa-apa, menghindar
untuk terlibat di dalamnya dan segera menyingkir dari tempat itu. Tidak ada
tindakan heroik yang kami lakukan untuk membela perempuan itu. Mungkin benar,
itu jalan yang telah dipilih oleh perempuan itu. Tapi apakah pilihan itu juga
memberi hak kepada laki-laki seperti mereka untuk menyakitinya? Bukankah secara
fisik, laki-laki ditakdirkan lebih kuat daripada perempuan, sehingga perlakuan
kasar sudah pasti akan menyakitinya. Tidak usah bicara terlalu jauh tentang
kekerasan verbal, yang bahkan bagi sebagian orang terpelajarpun masih banyak
yang belum memahami. Ini adalah kejadian ironis setelah beberapa saat lalu
banyak orang memperingati hari Kartini. Adakah artinya bagi perempuan itu?
Gue ngga perlu
tahu apa permasalahan yang mereka ributkan. Tapi melihat kejadian itu,
lagi-lagi meyadarkan gue untuk kembali bersyukur atas semua yang telah gue
dapat selama ini. Sejak kecil, meskipun tak bermewah-mewah, tak pernah
kekurangan makan, bisa bersekolah sampai ke perguruan tinggi, tanpa perlu repot
memikirkan biaya. Mendapatkan pekerjaan yang diidamkan sebagian besar orang,
meskipun bukan sebagai pejabat, tapi gue bersyukur. Masalah yang selama ini
kadang menyita pikiran, ternyata belum seberapa jika dibandingkan yang
perempuan itu alami. Perlakuan beberapa rekan yang terkadang terkesan
melecehkan gue sebagai perempuan (yang sangat mengagungkan persamaan gender),
mungkin bisa disikapi lebih bijak.
Cuma bisa
mendoakan, semoga semua perempuan bisa mendapatkan kebahagiaan, penghormatan yang
selayaknya dari laki-laki, dan mendapatkan tempat yang mulia di hidup ini. Semoga....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar