Jumat, 02 Desember 2011

"CATATAN LAMA DI AKHIR TAHUN"




Ini adalah catatan lama untuk ibunda, yang pada bulan ini diperingati sebangai hari ibu. Ini sebuah kisah yang disarikan dan diedit, namun saya yakin tak akan mengurangi maknanya untuk sekedar mengingatkan kita arti seorang “Ibunda”. Catatan itu berjudul "MENCARI MAKNA IBUNDA" dan dimulai dengan sebuah puisi dari Widji Tukul, Sajak Ibu, dari Mencari Tanah Lapang.

IBU PERNAH MENGUSIRKU MINGGAT DARI RUMAH
TETAPI IA MENANGIS KETIKA AKU SUSAH
IBU TAK BISA MEMEJAMKAN MATA
BILA ADIKKU TAK BISA TIDUR KARENA LAPAR
IBUKU AKAN MARAH BESAR
BILA KAMI BEREBUT JATAH MAKAN YG BUKAN HAK KAMI
IBUKU MEMBERI PELAJARAN KEADILAN DENGAN KASIH SAYANG
KETABAHAN IBU
MENGUBAH SAYUR MURAH MENJADI SEDAP

Siapakah Ibunda?
Ia bisa seperti Mega Priyanti, dari Suara Ibu Perduli. Ibu ini datang ke Suara Ibu Perduli untuk menukarkan kupon beras dan susu murah. Ia bertemu Gadis Arivia dan Karlina Leksono, dua perempuan ilmuan yang membawanya ke proses penyadaran atas hak sipil dan politik sesuai perannya sebagai perempuan. Proses itulah yang membuatnya terlibat dalam berbagai kegiatan sederhana seperti program nutrisi dan koperasi di akar rumput, Mega dan para ibu SIP kemudian menggerakkan para ibu untuk membantu menyiapkan makanan, minuman dan obat untuk mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR pada Mei 1998, sebuah akumulasi perubahan politik Orde Baru.
Ibunda bisa juga seperti Martini, seorang buruh cuci yang kehilangan anak tunggalnya Sigit Prasetyo dalam tragedi Semanggi 1. "Saya mengumpulkan rupiah demi rupiah supaya Sigit bisa sekolah tinggi. Kematian Sigit adalah sesuatu yang sudah terjadi dan saya tidak akan memintanya kembali. Namun saya tidak ingin kematian Sigit membawa hidup saya bersamanya. Saya harus tetap bertahan hidup supaya dapat menuntut keadilan atas kematiannya." Suatu keadilan yg tak pernah datang kepadanya.
"Ibunda" dalam penggalan cerita diatas bukanlah ibu para ibu yang dibelenggu ketidakberdayaan sosial terhadap sesuatu yang bersifat kodrat, perempuan hamil, melahirkan dan membesarkan anak. Tugas-tugas tersebut kemudian dianggap inheren dengan kodrat perempuan. Terlepas dari diskursus mengenai kelemahan dan kekuatan sesuatu yang dianggap "nature" dan dengan mudah menjebak pada pola pikir esensial semacam kodrat serta seperangkat nilai-nilai pada realitas sosial dalam masyarakat, nampaknya berperan dalam pengambilan keputusan oleh perempuan, yakni kekerasan yang dialami secara langsung maupun tak langsung.
Dalam sebuah dialog di novel IBUNDA karya Maxim Gorky (ini jadi salah satu novel favorit saya) yang diterjemahkan oleh Pramudya Ananta Toer, kental dengan warna esensialis seperti "Seorang ibu selalu mempunyai cukup airmata buat segala-galanya! Kalau tuan pernah punya ibu, pasti Tuan tau itu". Sang tokoh Pelagia Vlassov memberikan gambaran yang jelas bagaimana seorang perempuan bermetamorfosa dari korban kekerasan domestik yang penakut dan lemah menjadi bagian, bahkan yang terdepan dalam perjuangan buruh di Rusia di awal abad lalu.
Lalu bagaimana dengan ibunda yang lain, dalam ukuran ini akan kita temui pekerjaan yang sering dianggap kotor, seperti wanita penghibur ataupun pembantu rumah tangga. Keputusan mereka untuk melakukan pekerjaan itu dapat mengundang perdebatan, sekedar pengorbanan atau perlawanan untuk menggapai perubahan hidup. Kemudian apakah "Ibunda" yang ini lebih kecil artinya dibanding ibu-ibu lain yang terlibat dalam perjuangan reformasi sosial pilitik lebih luas? Rasanya tidak, atau bagaimana kita mengukur serta memandangnya ?
Penggalan puisi diatas sudah menjawabnya. Secara sederhana Pramudya juga memberikan jawaban mengapa ia tertarik menterjemahkan novel Ibunda. Menutut Pram. "Saya ingin memberikan penghargaan kepada ibu yang tak pernah dihargai."
Dan catatan tersebut diakhiri dengan sebuah penggalan puisi indah, puisi sama yang saya gunakan dalam pengantar skripsi saya..............

UNTUK IBUNDA YANG SEIKHLAS KARANG MENUNGGU OMBAK
YANG SETABAH NELAYAN MENGARUNGI GELOMBANG
NAMUN TAK SEBEBAS CAMAR BERTERIAK

(26 desember 2009)

2 komentar: