Ini adalah catatan lama untuk ibunda, yang pada bulan ini
diperingati sebangai hari ibu. Ini sebuah kisah yang disarikan dan diedit, namun saya
yakin tak akan mengurangi maknanya untuk sekedar mengingatkan kita arti seorang
“Ibunda”. Catatan itu berjudul "MENCARI
MAKNA IBUNDA" dan dimulai dengan sebuah puisi dari Widji Tukul, Sajak Ibu,
dari Mencari Tanah Lapang.
IBU
PERNAH MENGUSIRKU MINGGAT DARI RUMAH
TETAPI
IA MENANGIS KETIKA AKU SUSAH
IBU
TAK BISA MEMEJAMKAN MATA
BILA
ADIKKU TAK BISA TIDUR KARENA LAPAR
IBUKU
AKAN MARAH BESAR
BILA
KAMI BEREBUT JATAH MAKAN YG BUKAN HAK KAMI
IBUKU
MEMBERI PELAJARAN KEADILAN DENGAN KASIH SAYANG
KETABAHAN
IBU
MENGUBAH
SAYUR MURAH MENJADI SEDAP
Siapakah Ibunda?
Ia bisa seperti Mega Priyanti, dari Suara Ibu Perduli. Ibu ini
datang ke Suara Ibu Perduli untuk menukarkan kupon beras dan
susu murah. Ia bertemu Gadis Arivia dan Karlina Leksono, dua perempuan ilmuan yang membawanya ke proses penyadaran
atas hak sipil dan politik sesuai perannya sebagai perempuan. Proses itulah yang membuatnya terlibat dalam
berbagai kegiatan sederhana seperti program nutrisi dan koperasi di akar rumput, Mega dan para
ibu SIP kemudian menggerakkan para ibu untuk membantu menyiapkan makanan,
minuman dan obat untuk mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR pada Mei 1998, sebuah akumulasi
perubahan politik Orde Baru.
Ibunda bisa juga seperti Martini, seorang buruh cuci yang kehilangan anak tunggalnya Sigit
Prasetyo dalam tragedi Semanggi 1. "Saya mengumpulkan rupiah demi rupiah
supaya Sigit bisa sekolah tinggi. Kematian Sigit adalah sesuatu yang sudah terjadi dan saya tidak akan
memintanya kembali. Namun saya tidak ingin kematian Sigit membawa hidup saya
bersamanya. Saya harus tetap bertahan hidup supaya dapat menuntut keadilan atas
kematiannya." Suatu keadilan yg tak pernah datang kepadanya.
"Ibunda" dalam penggalan cerita diatas bukanlah ibu
para ibu yang
dibelenggu ketidakberdayaan sosial terhadap sesuatu yang bersifat kodrat, perempuan hamil,
melahirkan dan membesarkan anak. Tugas-tugas tersebut kemudian dianggap inheren
dengan kodrat perempuan. Terlepas dari diskursus mengenai kelemahan dan
kekuatan sesuatu yang
dianggap "nature" dan dengan mudah menjebak pada pola
pikir esensial semacam kodrat serta seperangkat nilai-nilai pada realitas sosial dalam masyarakat,
nampaknya berperan dalam pengambilan keputusan oleh perempuan, yakni kekerasan
yang dialami secara
langsung maupun tak langsung.
Dalam sebuah dialog di novel IBUNDA karya Maxim Gorky
(ini jadi salah satu novel favorit saya) yang
diterjemahkan oleh Pramudya Ananta Toer, kental dengan
warna esensialis seperti "Seorang
ibu selalu mempunyai cukup airmata buat segala-galanya! Kalau tuan pernah punya
ibu, pasti Tuan tau itu". Sang tokoh Pelagia Vlassov memberikan gambaran yang jelas bagaimana seorang perempuan
bermetamorfosa dari korban kekerasan domestik yang penakut dan lemah menjadi bagian, bahkan yang terdepan dalam perjuangan buruh
di Rusia di awal abad lalu.
Lalu bagaimana dengan ibunda yang lain, dalam ukuran ini akan kita temui pekerjaan yang sering dianggap kotor, seperti wanita
penghibur ataupun
pembantu rumah tangga. Keputusan mereka untuk melakukan pekerjaan itu dapat
mengundang perdebatan, sekedar pengorbanan atau perlawanan untuk menggapai
perubahan hidup. Kemudian apakah "Ibunda" yang ini lebih kecil artinya dibanding
ibu-ibu lain yang
terlibat dalam perjuangan reformasi sosial pilitik lebih luas? Rasanya tidak,
atau bagaimana
kita mengukur serta memandangnya ?
Penggalan puisi diatas sudah menjawabnya. Secara sederhana
Pramudya juga memberikan jawaban mengapa ia tertarik menterjemahkan novel
Ibunda. Menutut Pram. "Saya ingin memberikan penghargaan kepada ibu yang tak pernah dihargai."
Dan catatan tersebut diakhiri dengan
sebuah penggalan puisi
indah, puisi sama yang
saya gunakan dalam pengantar skripsi saya..............
UNTUK IBUNDA YANG SEIKHLAS KARANG
MENUNGGU OMBAK
YANG SETABAH NELAYAN MENGARUNGI GELOMBANG
NAMUN TAK SEBEBAS CAMAR
BERTERIAK
(26
desember 2009)
keren..!!!!
BalasHapusmakasiiihhhh :)
BalasHapus