Jumat, 28 Maret 2014

KISAH SATU

Membaca sebuah kisah di tabloid mengenai seorang bayi bernama Aqila yang menderita Atresia Bilier, membuka kembali ingatan tentang anak keduaku. Atresia Bilier adalah penyumbatan saluran empedu. Lahir melalui proses yang yang menurutku tidak mudah, karena sesungguhnya aku tidak menyiapkan diri untuk melakukan operasi caesar. Pada saat kontrol kehamilan dokter mengatakan posisi bayiku normal, sudah berada di posisi yang semestinya, bahkan tiga hari sebelum hari lahir. Memasuki minggu ke- 42 belum ada tanda-tanda aku akan segera melahirkan, lewat satu minggu dari perkiraan dokter. Waktu itu jumat sore aku dan suami kontrol untuk ke sekian kali, dan dipastikan posisi bayiku kembali bergeser, melintang dengan kaki dan ari-ari berada di jalan lahir. Satu-satunya jalan adalah dengan melakukan operasi caesar sesegera mungkin karena telah lewat waktu perkiraan. Dengan membawa rujukan kepada seorang dokter senior di rumah sakit daerah (maklum PNS). Mendaftar pada sabtu pagi (dengan waktu tunggu yang lumayan lama, dan harus mondar-mandir dari satu loket ke loket lain, tipikal RSD L hikshiks...), akhirnya aku disiapkan untuk masuk ruang operasi jam 4 sore. Ternyata tidak memakan waktu lama untuk melakukan sebuah operasi mengeluarkan seorang bayi kecil dengan berat 2,8 kg dan panjang 52 cm J. Pemulihan dari anestesi justru yang membutuhkan lebih dari 3 jam, dengan perasaan melayang, hahahaha....
Pada minggu-minggu pertama, bayi kecilku tumbuh sehat dengan pertambahan berat badan yang lumayan pesat. Hanya satu hal yang mengganjal, tubuhnya berwarna kuning, termasuk kornea matanya. Menurut orang-orang, ini karena kurang asupan ASI dan dijemur. Semua nasehat kuikuti, tapi keadaan tidak berubah. Hal ini terus berlangsung sampai bayiku berumur satu bulan lebih. Diluar tubuhnya yang berwarna kuning, semuanya terlihat normal. BAB nya normal, berwarna kuning, berat badannya naik proporsional, menyusu dengan teratur. Aniway, karena kekuatiran kami, akhirnya kami membawanya untuk diperiksa. Dokter waktu itu belum bisa menentukan diagnosa yang pasti, sambil diberikan obat, kami diharuskan kontrol kembali sambil melakukan beberapa tes di laboratorium. Bayi sekecil itu harus ditusuk jarum untuk diambil darah Ltermasuk berpuasa semalaman karena harus rontgen hati.
 (ini daftar tes yang harus dijalani my little baby)

 
 
 (perjalanan jauh pertama dede)


Meskipun hasil tes laboratorium telah keluar, tapi dokter belum bisa mengambil kesimpulan. Ada beberapa kemungkinan, yang terberat adalah penyumbatan saluran empedu dan tindakan yang harus dilakukan adalah operasi. Astagfirullah haladzim... tidak terkatakan perasaan ini, ingin menamgis, tapi aku tahu aku harus kuat, demi bayiku, karena aku ngga mau karena perasaanku yang kacau berpengaruh ke produksi ASI-ku. Kamipun dirujuk ke Bandung, sebuah rumah sakit swasta internasional, menemui dokter yang ahli di bidang penyakit ‘hepar’. Dengan perasaan yang bercampur aduk, kami memutuskan langsung ke Bandung, membawa seluruh tabungan kami sebagai bekal. Sebelumnya kami telah melakukan konfirmasi kepada pihak rumah sakit mengenai apakah dokter yang kami tuju ada. sampai di rumah sakit, mendaftar (gak pake lama), kami menunggu jam buka praktek. Tetapi beberapa menit sebelum waktu praktek, perawat memberi tahu bahwa ternyata dokter berhalangan, karena ada acara mendadak. Kamipun protes, karena kami sudah membuat perjanjian sebelumnya, mengingat kami dari luar kota. Perawat jaga berkali-kali minta maaf dan menekankan bahwa itu memang mendadak, karena sampai waktu terakhir, dokter masih menyatakan akan praktek (fiiuhhhhh, beda banget sama pelayanan di rumah sakit negeri). Kami sempat linglung, menentukan langkah apa yang mesti diambil, pulang lagi ke Sukabumi, atau nginep di Bandung, karena besok dokternya ada jadwal praktek di rumah sakit itu, meskipun perawat juga tidak bisa memastikan kehadiran dokter. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kamipun memutuskan bermalam di Bandung di rumah salah satu keluarga. Keesokan hari, sampai jam sembilan pagi, kami belum menerima kabar dari pihak rumah sakit. Akhirnya karena penasaran, aku googling tentang dokter ini. Ternyata Dr Ina Rosalina, SpA (K) adalah seorang Konsulen Spesialis Anak Sub Spesialis Gastro di beberapa rumah sakit di Bandung, dokter ahli di bidang saluran pencernaan anak (gastroenterologi) terkenal di Indonesia. Wah aku pikir perjuangan mencari dokter ini akan sulit, meskipun dokter ini praktek di beberapa rumah sakit di Bandung. Akhirnya kabar dari rumah sakit mengkonfirmasi bahwa dokter Ina tidak akan praktek karena akan ada seminar di Jakarta. Kamipun kelimpungan. Aku cari dimana lagi dokter Ina praktek hari sabtu itu, ketemu di satu rumah sakit swasta lagi. Setelah menunggu beberapa kali menunggu extension, akhirnya dapat informasi kalau beliau ada praktek. Karena kurang yakin, aku sampai beberapa kali nanya, “Bener nih mba, dokternya ada?”. “Iya bu, ini juga lagi ada di ruangan.” Okay kami bergegas berkemas menuju te-ka-pe, suamiku malah gak pake mandi lagi, maklum Bandung akhir minggu pasti macet. Finnally, menunggu di depan praktek dr. Ina, lega level pertama.
Melihat hasil tes darah dan rontgen hati dari rumah sakit di Sukabumi, dr. Ina sebetulnya bisa mengambil kesimpulan, kalau anakku ngga papa, cuma karena ASI aja katanya, tapi solusinyapun tetep dikasih ASI sebanyak-banyaknya. Fiiiuuuuhhhhh..... Buat menyakin, harus dilakukan tes darah sekali lagi L... Karena hari itu sudah siang, makanya ngga mungkin hasilnya bisa langsung diperiksa dikter, apalagi beliau mesti ke Jakarta menghadiri seminar. Akhirnya kami dianjurkan menelpon dokter hari selasa malam, karena dia tau kami dari luar kota, untuk mengetahui hasil pemeriksaan (she gave us a name card !!!!). Aku sampe melongo, gak papa nih dokter? Honestly, baru kali ini, gue ketemu dokter kaya gini, cantik, pinter, terkenal, ramah, baiiiiikkkkk....... banget, mau dihubungi lewat telpon. Padahal ongkos periksannya aja murah, hehehe...resep yang dikasih juga cuma vitamin. Lega level kedua.Setelah ambil darah di lab, kami langsung pulang ke Sukabumi.
Selasa malam, dengan perasaan galau aku menghubungi dokter. Dokternya santai aja, “Ngga papa kok bu, kasih aja ASI sebanyak-banyaknya, nanti juga kuningnya ilang, bulan depan cek lagi kesini”. Ceeesssss....seperti disiram air dingin, kami semua merasa lega dengan hasilnya. Lega level tiga.
Ternyata memang hari-hari berikutnya, kuning pada tubuh anakku terlihat berkurang, matanyapun mulai jernih. Pada saat kami check up lagi, anakku sudah terlihat seperti bayi sehat lainnya dan dokterpun bilang semuanya baik-baik saja. Alhamdulillah hirobbil alamiin.... Lega level sepuluh J


(bersambung.....)