Sabtu, 01 Desember 2018

BEDA ITU KEREN

Sebagian besar masa kecilku dihabiskan di kota kecil yang terkenal karena pabrik rokok kreteknya, sehingga disebut sebagai kota kretek, Kudus. Perpindahan kami ke kota ini karena tugas papah di proyek baru, karyawan kontraktor kan memang sering pindah-pindah (karyawan loh ya, bukan kontraktornya ๐Ÿ˜). Proyek apa itu, aku sendiri lupa, hanya saja tempatnya dekat dengan rumah kontrakan kami. Desa tempat kami tinggal ada di kecamatan Bae, yang aku ingat adalah dari jalan raya besar, menuju desa kami ada gapura semacam penanda, di sepanjang jalan kanan kirinya dipenuhi kebun tebu. Selain pabrik rokok, memang ada pabrik gula disana. Pabrik rokok yang terdekat dengan kampung kalo ngga salah pabrik rokok Nojorono, entah merek itu masih ada atau sudah hilang saat ini. Oh ya, baru ingat, nama desa tempat tinggal kami adalah Purworejo ๐Ÿ‘๐Ÿป๐Ÿ‘๐Ÿป.
Untuk menuju kota, kami harus berjalan kaki dari perkampungan melewati kebun-kebun tebu, untuk kemudian menunggu angkutan desa yang lewat. Tapi papah dulu sering memboncengku menggunakan sepeda mini, hanya untuk membeli sate atau beli kolek pisang di kota. Kalau diingat-ingat, jarak rumah dengan jalan besar pasti sangat jauh, tapi dulu sepertinya kami senang saja. Hidup jauh lebih sederhana pada saat itu ☺. Pernah suatu waktu, aku pergi menjemput mamah yang sedang les menjahit ke jalan besar dengan naik sepeda. Di jalanan menurun, tanpa sadar aku menarik rem depan terlalu kencang sehingga sepedapun terjungkal, dan dahiku sukses mencium mur di stang sepeda. Kejadian itu meninggalkan bekas sampai sekarang dan menyebabkan syaraf mataku mengalami gangguan. Kami tinggal di rumah kontrakan, yang hanya terdiri dari dua petak ruangan. Semua aktifitas dilakukan disitu. Kalau mau ke kamar mandi, kami harus keluar rumah dan menggunakan kamar mandi komunal bersama dengan pemilik kontrakan. Mamah terkadang menerima jahitan baju. Masakannya juga sangat enak, sejauh yang kuingat, meskipun dengan uang belanja yang sangat minim. Meskipun kehidupan kami sangat sederhana, tapi entahlah, saat itu rasanya sangat membahagiakan.
Masa TK, memasuki SD, aku merasa sama seperti anak-anak lain. Main pasar-pasaran, membuat minyak kelapa dari daun mangkokan, petak umpet, kadang meminta sisa tebu dari kebun yang selesai panen. Tak jarang main di tepi sungai yang menurutku tempat yang agak creepy karena letaknya berdekatan dengan tempat pemakaman umum. Satu-satunya hiburan, pernah waktu itu diputar layar tancap di lokasi proyek, filmnya sudah pasti film Indonesia. Ada tradisi 'dandangan' (inipun kalau ngga salah sebut), semacam pasar malam setelah lebaran. Ini lebih ramai dibanding lebaran itu sendiri, dan pada momen seperti inilah anak-anak merasa sah saja meminta ini dan itu, mainan masak-masakan, boneka dan yang wajib, harum  manis. Ini sungguh langka waktu itu.
Layaknya anak pada umumnya, kadang akupun sering bertengkar dengan teman pada saat bermain. Hal yang paling kubenci pada saat itu adalah ketika kami berselisih, mereka sering mengolok-olok aku dengan kata "cino, cino, wong cino"...
Sungguh aku tak terlalu paham artinya pada saat itu, hanya saja itu terasa seperti sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku hanya mempunyai sedikit gambaran, apa arti olokan mereka, bahwa aku adalah anak orang etnis cina, hal yang langka, bahkan satu-satunya di desa itu. Toh aku tak pernah merasa berbeda dengan anak lainnya, warna kulit, bentuk mata, hampir semuanya sama. Yang aku tahu memang mamah punya warna kulit yang lebih terang dibanding penduduk disana, hanya itu. Karenanya, meskipun tak tahu apa yang menyebabkan, hatiku sering merasa sakit ketika diolok-olok seperti itu.
Memasuki pertengahan SD, papah kembali pindah proyek di Jakarta, sehingga kami sekeluarga pindah ke kota asli papah di Sukabumi. Pada masa itu, aku tak pernah lagi mendengar olokan seperti dulu lagi, sehingga aku nyaris melupakannya. Semakin bertambah umur akupun akhirnya menyadari bahwa ternyata mamah memang keturunan etnis tionghoa, bahkan kakak tertuanya masih ada yang tinggal di RRC, tentu saja kami tak pernah bertemu. Nenek kakek dari pihak mamah sudah meninggal jauh sebelum aku lahir, sedangkan dengan saudara-saudara mamah yang lainpun nyaris tak pernah berhubungan. Mungkin kalau saat ini aku ketemu salah satu sepupu, kami tak mungkin saling kenal. Sayangnya, aku belum terlalu punya cukup kepedulian untuk mengenal lebih jauh silsilah keluarga mamah pada waktu itu, sampai saat mamah meninggal tahun 1992. Aku baru kelas 3 SMP. I miss her a lot.
Saat ini, kegiatan yang rutin aku lakukan adalah yoga. Gurunya fix keren, dan sepertinya latihan disana paling cocok buatku. Tak hanya gurunya, teman-teman latihanpun yang terbaik yang pernah kukenal. And guess what? Saat ini aku lagi-lagi menjadi "minoritas". 95% komunitas yogaku adalah etnis china, termasuk guruku. Kenapa minoritas? Karena aku sendiri (berempat sih) yang berjilbab. Serius, ini bukan tulisan yang berbau SARA, justru aku hanya ingin cerita perbedaan perlakuan yang aku alami. Kalau dulu aku minoritas karena "orang cina", sekarang aku yang minoritas karena "bukan orang cina". Sesungguhnya teman-temanku memang ngga pernah tahu aku juga sebagian cina. Satu hal yang membuat aku tak pernah merasa menjadi minoritas adalah karena perlakuan mereka yang tak pernah membedakan, bahkan sangat baik. Awalnya sempet juga sih ngerasa minder karena beda, tapi tak butuh waktu lama untuk berbaur. Sungguh salah ketika kita masih berpikir segmented, bahkan cenderung rasis. Sepanjang tidak mengganggu aqidah kita, bukankah kita juga diharuskan berbuat baik kepada non muslim?
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978).
Ini adalah cerita masa kecilku yang tersimpan hampir selama 40 tahun. Kenapa baru kali ini kutulis, mungkin karena sekarang aku merasa sudah siap membuka kenangan masa kecilku. Sesungguhnya aku cenderung lebih senang tak memikirkan, karena dengan memikirkannya, aku juga harus mengingat banyak kehilangan, terutama keberadaan mamah. Dan ini adalah tulisan yang terinspirasi darinya, memperingati 26 tahun meninggalnya mamah (30 November 1992).
Aku senang, aku adalah aku, minoritas atau bukan.

Jumat, 29 Juni 2018

Tuhan sungguh Baik



Tuhan sungguh baik
Membiarkanku pernah merasakan berada di ketinggian 3.428 mdpl
Kemudian menghirup semilir aroma belerang, bercampur sejumput wangi edelweis 
Kali lain, Tuhan juga membuatku pernah bertahan di dinginnya tenda yang tertiup angin kencang, untuk kemudian menyaksikan kelompok gunung-gunung yang seakan berbaris
Bahkan kemarin, Tuhan memberiku kesempatan melawan ketakutan ketakmampuan bertahan di air, demi melihat keindahannya
Diantaranya, merebahkan diri di bawah hamparan bintang, mencicip sejuk air yang mengalir jernih, mengunyah pucuk pakis bercampur mungkin sedikit pasir, menyusuri jalan mendaki di tengah hujan...
Sungguh rindu yang mencekam Tuhan..
Rindu dialog bersama alam-Mu, dan mulai bosan hanya bercengkrama dengan layar mati
Namun bersama kebosanan itupun, hujan hari ini sungguh romantis
Tuhanku sungguh baik, betul kan?

Selasa, 26 Juni 2018

Intisari KOPI


Intisari KOPI

Menyeduh kopi itu harus dengan hati, karena pertemuan mesra air dan kopi... walau tanpa kata... selalu jujur menghadirkan percik-percik kebahagiaan di setiap teguknya... 
Pada pagi, memberi semangat menyambut semesta yang bersinar... 
Pada siang, mengistirahatkan sejenak dari penat... 
Pada malam, menghantarkan meredam seluruh riuh di kepala. Ngopi itu harus sering, seperti patah hati yang berkali-kali, supaya makin terasa serunya hidup di semesta ini....