Kamis, 22 September 2011

TENTANG PILIHAN HATI

Pertanyaan

Raga rumahku
Kuda anjingku
Aku bisa apa
Saat kau terjatuh
Dimana aku akan tidur
Apa yang akan kutunggangi
Apa yang akan kuburu
Kemana aku bisa pergi tanpa tungganganku
Yang cepat dan bersemangat
Bagaimana aku tahu di semak di hadapanku
Bahaya atau harta karun
Jika raga anjingku yang baik dan pintar mati
Bagaimana rasanya berbaring di langit
Tanpa atap atau pintu
Dengan angin sebagai mata
Dan awan sebagai gaun
Bagaimana aku bisa bersembunyi
(May Swenson, dalam The Host – Stephenie Meyer)

Ini cerita tentang seorang sahabat.
Well, sebagai prolog saya mempunyai analogi berdasarkan cerita saya sendiri. Sejak tahun 2000 saya telah menjadi seorang Romanisti (saya menolak penggunaan kata Romanita bagi penggemar perempuan), sebutan bagi penggemar AS Roma, salah satu klub sepak bola di Itali. Ketika itu, pemain-pemainnya seperti Gabriel Omar Batistuta, Vincent Candela, Vicenzo Montela (yang ini sempat jadi pelatih pengganti sebelum Luis Enrique), Hidetoshi Nakata, Emerson F da Rosa, Tommasi dan yang pasti Francesco Totti. Sebagian dari mereka, sudah pasti jarang terdengar lagi kabarnya, hanya Totti sang kapten, the Prince of Rome yang masih setia menggunakan seragam gialorossi. Kesetiaannya, tak perlu diragukan lagi. Saat pemain lain, pindah klub yang mungkin lebih menjanjikan dalam hal karir, dia memilih untuk tetap tinggal. Mungkin sebentar lagi karirnya pun akan berakhir. Sebagai salah satu klub ibukota, AS Roma pernah mendapatkan berbagai gelar juara. Saat ini mungkin bukan masa kejayaannya. Tapi apakah itu menjadi alasan saya untuk tidak lagi menjadi seorang romanisti? Tidak sama sekali! Menjadi romanisti tidak akan pernah bergantung pada berapa banyak gelar juga yang pernah, atau akan diperoleh. Ini yang saya sebut sebagai mencintai tanpa syarat, tak pernah perduli berapa banyak orang yang mengejek karena pilihan yang saya buat. FORZA ROMA, PER SEMPRE !!!!

Ini cerita tentang pilihan hati, pilihan hidup Jen, seorang sahabat yang memutuskan untuk hidup sendiri, karena cintanya tak memberikan pilihan baginya. Jen, pernah merasakan indahnya cinta itu, menemukan orang yang tepat, yang paling mengerti hidupnya. Orang yang selalu bilang, “aku tahu hatiku dimana, buatmu.” Orang yang bahkan dengan konyol membuat pantun-pantun karena Jen memintanya. Dalam dirinya, Jen melihat sesuatu yang anehnya tak pernah orang lain lihat, ketulusan, kecerdasan yang tersembunyi. Hanya dengannya, Jen bisa melihat hidup dari sisi yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Hutan pinus terlihat lebih indah, wanginya bahkan tercium dari jarak ratusan meter. Menertawakan sopir bajaj, sopir taksi yang mereka tumpangi ternyata kebetulan semuanya orang Brebes. Mereka banyak melewati saat indah, konyol, gila bahkan sedih sekalipun bersama. But this is not a fairytale, that always ended with happily ever after. Jen kehilangan cintanya, kehilangan orang yang selalu membuatnya tersenyum, teman diskusinya tentang novel-novel yang jarang diminati anak-anak muda sekarang. Jen jatuh, tak lagi bermimpi tentang menghabiskan masa tua di desa. Puisi May Swenson di atas menjadi salah satu favoritnya, diantara sekian banyak lagu-lagu patah hati. Maka, sahabatku Jen, memutuskan tak akan lagi percaya pada cinta yang terasa indah pada awalnya. Semua orang, termasuk saya telah berupaya agar Jen tak lagi memikirkan cintanya yang telah pergi. Tapi Jen bilang, “Ini pilihan saya, ini hati saya, tak perduli betapa dia telah menyakiti saya, meninggalkan luka dan tak pernah memikirkan kisah kami lagi, saya tetap disini.”
  (in the middle of no where, jen)

Jadi, saya pun paham. Ini memang sebuah pilihan hati, meskipun analogi yang saya miliki tentu sangat jauh berbeda. Tapi tetap ini sebuah pilihan, dengan konsekuensi yang harus kami hadapi. Saya, tetaplah seorang Romanisti, Jen tetaplah Jen....
(didedikasikan bagi mereka yang bisa mencintai tanpa syarat... 03-09-2011)

2 komentar:

  1. nice blog kk ^^
    senang nemuin penggemar as roma dari kalangan perempuan :)
    hidup as roma!!!

    BalasHapus